,

UU 26 dan Perda RTRW Surabaya Jadi Alat ‘Sandera’ Warga

Surabaya, areknews – Undang – Undang 26 tahun 2007 yang mengatur kawasan perkotaan harus menetapkan 30 persen sebagai ruang terbuka hijau, termasuk Kota Surabaya yang telah menetapkan perda 12 tahun 2014 tentang RTRW berdampak buruk bagi masyarakat.

Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Vinsensius Awey berpendapat, produk hukum tersebut (UU dan Perda RTRW) justru terkesan menjadi alat menyandera lahan warga. Pasalnya, setelah ditetapkan sebagai lahan konservasi dalam RTRW, lahan seperti di Pamurbaya tidak boleh dialih fungsikan sembarangan.

“Peruntukan lahan tersebut hanya diperbolehkan sebagai lahan terbuka, tidak boleh dialihkan menjadi rumah atau bangunan lainnya,” katanya, Rabu (7/2). Harusnya, menurut Awey, untuk benar-benar melaksanakan aturan hukum yang dibuat, pemerintah harus melakukan pembebasan lahan warga yang ada.

Anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey. Ist
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey. Ist

“Pemerintah harusnya sesegera mungkin melakukan pembebasan lahan,” ucapnya. Sebab menurut dia, jika lahan warga tidak dibebaskan kesannya menyandera, jika warga membangun dilahan milik sendiri, nanti akan dianggap melanggar aturan. “Seperti yang terjadi di Gunung Sari, 99 rumah yang dinyatakan melanggar. Padahal mereka beli tanah,” tutur Awey.

Oleh karenanya, Awey meminta kepada Pemkot agar dilakukan pengawasan, sekaligus membuat kebijakan soal pembebasan secara bertahap. “Bayangkan dari tahun 1978 hingga saat ini, 40 tahun lahan warga tidak dibebaskan dan juga tidak boleh dibangun karena masuk lahan konservasi,” tandasnya.

Anggota DPRD komisi C Kota Surabaya asal partai Nasdem ini berharap, Pemerintah Kota Surabaya dapat melakukan pembebasan secara masif. “Ini namanya kesalahan pemerintahan yang turun temurun. Saya berharap pada pemerintahan Risma dapat dibebaskan secara baik dan benar,” jelas Awey.xco