, , ,

Pameran Tunggal, Perjalanan Hidup ‘Si Bunga Matahari’ Nunung Harso

Surabaya, areknews – Pelukis asal Surabaya Nunung Harso memaknai perjalanan hidup menuju usia 71 tahun dengan menggelar sebuah pameran tunggal bertajuk Intuitif. Mengusung 17 karya lintas tahun di mana masing-masing merupakan hasil perenungan penuh makna. Keseluruhan goresan ekspresionis atas kanvas itu akan membuat para penikmat seni lukis terhanyut.  

Romansa ini tersaji di Galeri Merah Putih, Kompleks Balai Pemuda, Jalan Pemuda 28 Surabaya. Mulai 23 Juni hingga 2 Juli 2023 mendatang.  Jika melihat karyanya dalam Intuitif yang berjumlah 17,  aliran ekpresionis begitu kental terasa. Nunung sendiri kerap dikenal sebagai pelukis bunga. Terutama bunga matahari. Itu karena ia menemukan filosofi mendalam. Bunga matahari akan menunduk karena semakin berat oleh biji-biji indah pada kelopak ketika beranjak tua. 

Beberapa lukisan bunga matahari tampak seperti karya-karya para maestro seni rupa. Bahkan, para pengamat seni lukis menilai karya Nunung mirip dengan Van Gogh. Banyak pertanyaan orang tentang lukisan bunga matahari yang dia buat. Tapi meskipun telah berpameran di luar negeri seperti Belanda, Kanada, Prancis, Jerman, dan New Zealand dengan bunga matahari, tetap dengan kepolosannya, Nunung mengaku bahwa dia tak pernah mendengar nama Van Gogh sama sekali. Ia memang pelukis otodidak.  ”Enggak tahu, enggak kenal,” ujar Nunung.

Sementara dari sekian bunga yang menjadi objek kebanyakan Nunung selama melukis, sunflower sungguh telah menjadi kecintaannya.  Tak terhitung berapa kali sulung lima bersaudara itu melukisnya di atas kanvas. Untuk Intuitif kali ini saja, Nunung menyertakan empat lukisan bunga matahari. 

Berjudul Wujud Impianku (50×70 cm, Acrylic on Canvas, 2023), Sunflower (50×65 cm, Acrylic on Canvas, 2010), Red Between Yellow (50×55 cm, Acrylic on Canvas, 2022), dan Merah di Antara Kuning (70×90 cm, Acrylic on Canvas, 2010).

Berkali-kali ia sudah melukis bunga terutama sunflower. Tapi lukisan Wujud Impianku berbeda dengan lukisannya yang lain dengan objek bunga matahari. Tampak hanya satu kelopak bunga matahari yang sangat besar. Biasanya Nunung melukis sekumpulan bunga matahari.

Bunga ini memberi banyak inspirasi. Setiap kali melukisnya, Nunung selalu makin kagum. Selalu ada hal yang berbeda meskipun dia sudah sering menggambarnya. Seperti nampak pada lukisan berjudul Sunflower. 

Sedangkan bunga matahari dalam Still Life ia lukis lengkap dengan vas pada 2023. Nunung tak memiliki alasan berarti kecuali ingin sesekali demikian. Sesuai judulnya, Nunung sedang mencoba membuat Still Life yang menjadi bentuk seni tersendiri sejak abad ke-16. Banyak macam objek dalam still life yang biasanya menata beberapa benda mati. 

Ekpresionisme Mirip Van Gogh

Sama dengan Vincent Van Gogh, Nunung melihat bunga matahari mengandung energi, gairah dan kekuatan.  Seperti bunga matahari yang dilukis Van Gogh pada 1888. Nunung juga ingin menunjukkan betapa ketakjuban dan energi dapat diutarakan melalui warna-warna yang hidup dengan sapuan kuas tebal dan bangun yang dilebih-lebihkan. 

Gaya ekpresionisme yang menjadi ciri Van Gogh itu dilekatkan pada karya Nunung yang dianggap meniru Van Gogh.  Tapi, untuk Nunung yang tidak tahu apa-apa tentangnya dan sama sekali tak pernah mempelajari karakter lukisan Van Gogh, wajar jika bingung dia ketika disamakan dengan pelukis yang mati muda dalam usia 37 tahun itu. Tentu, juga tak bisa menganggap Nunung mencontek sang maestro dunia itu.  ”Padahal yang saya tahu, saya hanya mengikuti intuisi saja saat melukis bunga matahari,” aku Nunung.

Sebagaimana Van Gogh yang juga pelukis otodidak, Nunung hanya mengandalkan intuisinya dalam berkarya.  Intuisilah yang menuntun Nunung menjadi pelukis. Sebagai sarjana psikologi dari Universitas 17 Agustus Surabaya, Nunung percaya pada intuisinya. 

Intuisi itu menurut Nunung selama ini sangat berfungsi untuk dirinya menuntun atau mengarahkan perasaannya menjadi mendalam sehingga secara naluriah seseorang bisa mengetahui bahwa sesuatu yang dilakukan itu benar atau salah.  Intuisi juga dapat dipakai untuk merasakan kebaikan atau keburukan dalam diri orang lain. 

”Terkadang kita tidak mengetahui alasan dari perasaan tersebut muncul, tapi itu jadi penunjuk yang tepat atas keputusan-keputusan kita,” ujarnya.  Meskipun, Nunung sendiri selalu mengaku tak pernah mengetahui atau mendengar nama maestro lukis beraliran ekspresionis tersebut. 

”Jadi jika ada yang menghubungkan saya dengan Van Gogh karena bunga matahari, tak ada yang saling meniru dan mempengaruhi. Van Gogh sudah lebih dulu dengan nama besarnya,” ujarnya. 

“Saya menghormatinya sebagai maestro yang patut dikagumi dan dipelajari karya-karya terbaiknya. Tapi, masing-masing telah dibekali intuisi untuk dikembangkan. Saya tetap percayai itu untuk mengarahkan perjalanan hidup saya kemudian,” lanjut Nunung. 

Malang Melintang dalam Dunia Kesenian

Nunung Harso yang dulu dikenal dengan Nunung Bakhtiar sudah malang melintang dalam berkesenian. Pameran tunggal ini adalah kali kelima bagi dirinya unjuk karya solo.  Pameran pertamanya digelar pada 2000 di Surabaya. Lalu di Belanda pada 2003, di dua tempat yakni di Zoetermeer, berjudul Dancing on The Canvas atau Menari di Atas Kanvas dilanjutkan pameran di kota lahir Van Gogh, Zundert, tepatnya di Cultureel Centrum van Gogh.

Pameran ketiga pada 2005 digelar di New Zealand. Yang keempat pada 2007, digelar dua kali yakni di Surabaya pada 14 Februari dan di Jakarta pada 26 April, dengan judul Sat It With Flower On Canvas.  

Berjarak cukup lama yakni 16 tahun kemudian, Nunung baru bisa menggelar pameran tunggal lagi. Menggandeng Heti Palestina Yunani, sebagai penulis pameran, pamerannya kali ini ia beri judul Intuitif. 

”Judul itu muncul setelah saya berjumpa Mbak Heti. Semula berjudul Say It With Flower. Tapi kemudian diubah menjadi Intuitif atas saran Mbak Heti,” kata perempuan kelahiran 14 Juni 1952 itu. 

Ada sebab mengapa Heti menyarankan judul Intuitif. Menurut Heti, intuisilah yang menuntun Nunung menjadi pelukis. Intuisi juga yang membuat Nunung membuat keputusan-keputusannya selama ini. 

Intuisi itu selalu dipakai Nunung untuk membuat karya-karya. Seperti dituntun untuk mewujudkan apa yang sedang tumbuh dalam benaknya. Hampir semua lukisan Nunung dari beberapa masa dibuat dengan mengandalkan intuisinya.

Apalagi, Nunung adalah pelukis otodidak. Memang ayahnya -Soewarno Harso- bisa melukis. Begitu pula kedua adik laki-lakinya yang menjadi pelukis. 

Satu adiknya yang almarhum belajar seni rupa di ISI Yogyakarta dan satunya berprofesi melukis  hingga sekarang. Tapi hingga awal 1980an, Nunung sama sekali tak pernah melukis. Maka, intuisilah yang kemudian membawa Nunung terus melukis hingga usia 71 tahun.
 
Dalam ilmu psikologi yang juga dipelajari Nunung, intuisi merupakan bentuk pengetahuan yang muncul dalam kesadaran tanpa pertimbangan yang jelas. 

Itu bukan magis melainkan firasat yang dihasilkan oleh pikiran bawah sadar yang dengan cepat bergeser melalui pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang bertambah. Sebagai sarjana psikologi dari Universitas 17 Agustus Surabaya, Nunung percaya pada intuisinya.

Menurut pengantar pameran Dr Pribadi Widodo MSn, seniman bekerja menghasilkan karya-karyanya diawali dari ketajaman intuisinya, bertolak dari gejala eksternal, seperti halnya berbagai peristiwa, yang terjadi di lingkungan kehidupannya, menyangkut sosial, budaya, politik, ekonomi, derita, tragedi, keindahan alam, dan sebagainya. 

Ataupun gejala internal (subjektif) seperti halnya pengalaman hidup, refleksi diri, suasana batiniah, dan sebagainya.

Itu pula yang kemudian menuntun Nunung Harso membuat karya pertama pada tahun 1990 an berjudul Twin. Menggambarkan dua penari di atas kanvas berukuran 80×60. 

Kala itu tiba-tiba saja ia menemukan sebuah ide untuk mencorat-coret kanvas dengan sosok dua penari. Penari kembar itu sekaligus menggambarkan dirinya sebagai pemilik zodiak Gemini. Nunung Harso dulunya juga seorang penari. 

Lukisan lainnya bertajuk Alam Semesta. Ia buat pada 2008. Nunung menangkap momen saat senja tiba ketika ia berada di Bali. 

Jauh sebelum dia melukisnya kemudian hari. Ia tuangkan keindahan bayangan itu dalam sebuah lukisan matahari jingga menyala dan hampir tenggelam di atas pantai biru nan indah. 

Kemudian salah satu lukisan terbarunya berjudul Eforbia and The Garden berukuran 50×50 cm. 

Euphorbia dilafalkan dengan eforbia adalah salah satu tanaman hias dengan tampilan menarik tak kalah menarik dengan tanaman hias berbunga lainnya. 

Karena begitu mengagumi keindahannya, Nunung Harso langsung mengabadikan ketakjubannya pada eforbia itu menjadi lukisan. Apalagi baru kali itu Nunung tahu bunga itu ketika di berada di Bandung.xco