, ,

Disbudporapar Catat 220 Situs Cagar Budaya, Dewan Sebut Perlu Jaga Warisan Budaya Kota ‘Pahlawan’

Surabaya , areknews – Surabaya dikenal luas sebagai Kota Pahlawan, simbol keberanian dan perjuangan arek-arek Suroboyo dalam meraih kemerdekaan. Surabaya menyimpan banyak sekali harta karun dan menjadikan hal tersebut sebagai kekayaan cagar budaya yang menjadi warisan Kota Surabaya.

Gedung-gedung kolonial, rumah-rumah lawas, jembatan tua, hingga kawasan bersejarah seperti Kota Lama menjadi penanda identitas kota ini. Cagar budaya merupakan aset yang berharga yang merekam nilai sejarah, arsitekture, dan budaya pada masa lampau. Menurut Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisat

Disbudporapar) Kota Surabaya tercatat kurang lebih 220 situs cagar budaya yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Surabaya yang terdiri dari Gedung bangunan, Kawasan pemukiman, pemakaman kuno, dan masih banyak lagi termasuk ikon-ikon tempat yang paling terkenal disurabaya seperti Jembatan merah, Hotel majapahit, Tugu pahlawan dan Kawasan religi Sunan Ampel menjadi simbol historis yang berpotensi besar untuk perkembangan objek wisata edukatif dan ekonomi kreatif Kota Surabaya.

Sayangnya, masih banyak situs-situs yang butuh perawatan dan pelestarian karena kondisinya yang memprihatinkan. Akibat kesadaran masyarakat yang minim, serta tekanan dari pembangunan modern sehingga banyak situs yang harus dirobohkan untuk diahli fungsikan. Hal tersebut yang menjadi tantangan utama bagi pelestarian cagar budaya di Kota Surabaya. Oleh karena itu pemerintah Kota Surabaya melalukan berbagai upaya agar tetap melestarikan dan memelihara cagar budaya yang ada di Kota pahlawan ini.

Isu ini yang menjadi topik utama pembahasan yang diangkat oleh Cahyo Siswo Utomo, ST, MH sebagai anggota komisi D DPRD Kota Surabaya dalam talkshownya dengan arekTV. Diskusi ini berlangsung pada jumat (30/5/2025) Menegaskan bahwa Cagar budaya di Kota Surabaya perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Kota Surabaya.

“Ini sedang kami proses di Pansus Cagar Budaya yang diketuai oleh Bu Siti Maryam, kemudian Bu Diah Katarina dan Pak Cucuk Supariono. Saya sebagai anggota di pansus tersebut mengikuti proses-proses dalam cagar budaya dan kebetulan dalam proses penyelesaian cagar budaya itu pancus cagar budaya memerlukan penyelesaian atau adanya tenaga ahli cagar budaya. Nah, ketika pansus sedang berjalan dan diperlukan tim ahli cagar budaya yang dibentuk dan itu sudah selesai,” ujar Cahyo dalam sesi wawancara bersama Fenti.

Dalam pernyataan diatas Cahyo menjelaskan bahwa saat ini sedang berlangsung proses pembahasan atau penggodokan terkait Cagar Budaya yang dilakukan Panitia Khusus (Pansus Cagar Budaya). Dalam proses tersebut terdapat kebutuhan untuk menghadirkan atau melibatkan tenaga ahli cagar budaya — yaitu orang-orang yang memiliki keahlian atau kompetensi dalam bidang pelestarian, kajian, dan penetapan objek-objek yang tergolong sebagai cagar budaya.

“Sesuai dengan undang-undang yang terbaru yang menjadi dasar cagar budaya di nomor 11 tahun 2010 pasal 31 ayat 3 TACB itu tim alih cagar budaya itu dibentuk oleh Walikota Surabaya. serta pada pasal 1 juga ayat 13 itu membedakan antara tim ahli cagar budaya dan yang lainnya. Jadi ada pembatasan fungsi yang sebenarnya tidak sampai fungsi pengelolaan. Jadi hanya fokus pada fungsi pelestarian.” ujar Cahyo.

Pernyataan ini menegaskan bahwa menurut undang-undang, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) memiliki peran yang terbatas hanya pada fungsi pelestarian (perlindungan, perawatan, penyelamatan, dan pemugaran) dan bukan pada pengelolaan langsung objek cagar budaya. Penjelasan tersebut merujuk bahwa TACB tidak memiliki kewenangan untuk mengelola situs atau objek cagar budaya secara langsung melainkan fungsi utama dari TACB adalah memberikan kajian, rekomendasi, dan pertimbangan ilmiah dalam konteks pelestarian cagar budaya, seperti penetapan, registrasi, atau pemugaran.

Jadi, TACB berfungsi sebagai penasihat atau rujukan ahli, bukan sebagai pelaksana kegiatan operasional pengelolaan. Cahyo juga menambahkan bahwa perhatian Pemerintah Kota Surabaya terhadap kelestarian cagar budaya terutama yang memiliki nilai-nilai kepribadian bangsa yang ada di kota pahlawan ini perlu ditingkatkan karena beliau merasa terdapat fungsi kekosongan antara pemetintah Kota Surabaya dengan para ahli sejarah dan pihak-pihak tertentu yang memiliki kaitan dengan permasalah ini.

Sehingga terjadi miskomunikasi yang menimbulkan masalah terhadap pelestarian dan pemeliharaan cagar budaya yang ada di Kota Surabaya. Menjaga warisan cagar budaya tidak cukup hanya dengan peraturan. Diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan sektor swasta. Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya telah menetapkan ratusan bangunan sebagai cagar budaya.

Namun, pendataan yang akurat, pengawasan ketat, dan program restorasi berkelanjutan harus terus ditingkatkan. Pendidikan dan kampanye publik juga memegang peranan penting. Generasi muda perlu diperkenalkan pada nilai sejarah kotanya sejak dini agar tumbuh rasa memiliki dan kepedulian. Melestarikan cagar budaya bukanlah beban, melainkan peluang. Kolaborasi dengan pelaku industri kreatif, arsitek pelestari, dan pengembang properti yang beretika bisa menjadi solusi inovatif. Dengan begitu, bangunan tua tidak hanya menjadi museum mati, tetapi ruang hidup yang tetap relevan dan bermanfaat bagi masyarakat masa kini. Penulis Farahdhila Kusuma Wardhani Prodi Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya