Surabaya, areknews – Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 4 Jawa Timur mengadakan Evaluasi Kinerja BPR dan BPRS Triwulan I tahun 2018 pada hari Kamis, (3/05/2018) bertempat di Convention Hall Hotel Senyiur, Prigen. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Direksi dan Komisaris dari 116 BPR dan 13 BPRS di bawah pengawasan Kantor Regional 4 Jawa Timur.
Evaluasi kinerja ini merupakan salah satu wujud konkrit concern OJK terhadap perkembangan industri BPR dan BPR Syariah di Provinsi Jawa Timur pada umumnya dan di wilayah kerja Kantor OJK Regional 4 Jawa Timur pada khususnya. Pertemuan tahunan kali ini mengangkat tema “Penguatan Good Corporate Governance (GCG) Untuk Mewujudkan Industri BPR/S Yang Sehat dan Berdaya Saing”.
Dalam kegiatan evaluasi ini, OJK memberikan pemaparan mengenai perkembangan kinerja BPR dan BPR Syariah sampai dengan triwulan I-2018 serta melakukan capacity building mengenai peningkatan Fungsi Kepatuhan dan Audit Internal BPR/S dalam rangka penguatan GCG.
Kepala OJK Regional 4 Jawa Timur, Heru Cahyono, dalam sambutannya menyampaikan bahwa pada triwulan I tahun 2018, sektor keuangan di Jawa Timur mencatatkan kinerja yang positif, tercermin dari peningkatan volume usaha perbankan yang mencapai sebesar 9% (yoy).
“Kinerja positif perbankan di Jawa Timur tersebut, tidak terlepas dari peran serta industri BPR/S yang pertumbuhan aset, DPK dan kreditnya masing-masing mencapai 8,59%, 11,37% dan 4,96% (yoy). Fungsi intermediasi BPR dan BPRS di Jawa Timur cukup baik dengan rasio L/FDR masing-masing 75,13% dan 114,2%,” jelas Heru Cahyono.
Diungkapkan, Risiko kredit BPR dan BPRS tergolong cukup tinggi, tercermin pada rasio NPL/F masing-masing 7,58% dan 9,24% namun rasio kecukupan modal BPR dan BPRS masih tergolong memadai untuk menyerap dampak risiko tersebut dengan CAR masing-masing sebesar 33,86% dan 31,61%.
“OJK berharap kepada Pengurus BPR/S di Jawa Timur untuk memperhatikan potensi peningkatan jumlah kredit/pembiayaan bermasalah dengan senantiasa memantau secara ketat perkembangan kualitas kredit/pembiayaan yang disalurkan,” ujarnya.
Khusus untuk BPR/S yang rasio NPL/F nya telah mencapai lebih dari 5%, OJK mewajibkan BPR/S untuk menyusun langkah-langkah penyelesaiannya yang komprehensif dan realistis dalam sebuah rencana tindak (action plan).
Hal tersebut sangat penting karena peningkatan jumlah kredit bermasalah dapat secara langsung berdampak pada rentabilitas BPR/S yang pada akhirnya akan berdampak terhadap penurunan aspek permodalan apabila tidak diikuti dengan peningkatan modal disetor oleh Pemegang Saham. Oleh karena itu, komitmen Pemegang Saham untuk mendukung kecukupan modal dan pengembangan bisnis BPR/S sangat penting bagi keberlangsungan usaha BPR/S, terutama dalam memenuhi ketentuan rasio CAR >12% serta pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp3 miliar maupun Rp6 miliar paling lambat pada tanggal 31 Desember 2019 untuk BPR dan tanggal 31 Desember 2020 untuk BPRS.
Heru Cahyono juga menjelaskan bahwa Faktor Integritas dan Kompetensi Pengurus yang tercermin dalam pelaksanaan GCG sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan dan/atau kegagalan manajemen BPR/S. Kegagalan manajemen tersebut dapat menyebabkan BPR/S berada dalam status Pengawasan Intensif (BDPI), meningkat menjadi dalam Pengawasan Khusus (BDPK), sampai akhirnya dilakukan pencabutan izin usaha (CIU).
Merespon hal tersebut, OJK telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi BPR, POJK Nomor 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi BPR, Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 6/SEOJK.03/2016 tentang Penerapan Fungsi Kepatuhan Bagi BPR dan SEOJK Nomor 7/SEOJK.03/2016 tentang Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bagi BPR.
“Dengan adanya POJK dan SEOJK tersebut BPR wajib menerapkan GCG secara efektif serta meningkatkan pelaksanaan Fungsi Kepatuhan, Fungsi Audit Intern dan Fugsi Manajemen Risiko yang merupakan tiga lini pertahanan (three line of defense) dalam proses pengendalian internal bank,” lanjutnya.
Heru Cahyono menghimbau kepada industri BPR/S agar melakukan akselerasi penguatan GCG untuk memitigasi potensi peningkatan risiko ke depan. Untuk membantu proses akselerasi tersebut, perlu adanya komunikasi serta koordinasi yang efektif dan intensif antar BPR/S dengan asosiasi industri serta pihak otoritas.
“Oleh karena itu, OJK KR 4 Jawa Timur, OJK Malang, OJK Kediri dan OJK Jember bersama dengan PERBARINDO Jawa Timur, PERBAMIDA Jawa Timur – Bali dan Kompartemen BPRS ASBISINDO Jawa Timur menginisiasi pembentukan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan (FKDKp) dan Forum Komunikasi Audit Intern (FKAI) BPR/S Se-Jawa Timur yang tujuan utamanya adalah mendukung proses akselerasi penguatan GCG tersebut,” tambahnya.
FKDKp dan FKAI BPR/S se-Jawa Timur yang peluncurannya dilakukan pada hari ini diharapkan dapat menjadi media yang efektif dalam mencari solusi bersama atas kendala-kendala yang dihadapi oleh industri BPR/S dalam menerapkan GCG secara efektif serta dapat mensinergikan program kerja bersama, baik program kerja asosiasi BPR/S maupun program recycling OJK.
Sinergitas tersebut antara lain telah terwujud dalam kegiatan capacity building pada hari ini melalui program Kemitraan Bank Umum dan BPR/S dengan adanya sharing informasi dan transfer knowledge yang dilakukan oleh Direktur Kepatuhan PT. Bank Maspion, Tbk dan Kepala SKAI PT. Bank Jatim, Tbk kepada industri BPR/S terkait dengan peningkatan efektifitas pelaksanaan Fungsi Kepatuhan dan Fungsi Audit Internal pada bank.
Oleh karena itu, Heru Cahyono berharap agar seluruh BPR/S di Jawa Timur dapat berpartisipasi secara aktif agar Forum Komunikasi tersebut memberikan manfaat yang maksimal bagi industri BPR/S. Heru Cahyono juga berharap dengan adanya Forum Komunikasi ini kepercayaan masyarakat kepada BPR/S di Jawa Timur dapat semakin meningkat karena Forum Komunikasi ini berperan penting dalam mengawal pelaksanaan prinsip-prinsip GCG serta penerapan manajemen risiko pada industri BPR/S di Jawa Timur.xco